PERLINDUNGAN ANAK

Dalam Kasus Anak, Identitas Korban Wajib Dirahasiakan

Bengkalis | Senin, 29 Juni 2020 - 15:52 WIB

Dalam Kasus Anak, Identitas Korban Wajib Dirahasiakan
Tim Mediator Satgas PPA Bengkalis, Refri Amran dan Peni Wulandari saat memberikan seminar tentang anak di Duri, belum lama ini. (Dok. Panji Ahmad Syuhada/Riau Pos)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Dalam sengketa kasus anak, identitas korban wajib disamarkan. Hal tersebut merujuk pada aturan dan undang-undang tentang perlindungan anak di Indonesia.

Tim Mediator Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bengkalis Refri Amran menyebut, bahwa dalam proses pemberitaan di media massa, identitas korban asusila wajib dirahasiakan karena akan berdampak kepada psikologis dan mental anak tersebut.


"Dalam UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 19 ayat 1 UU tentang SPPA mengandung ketentuan bahwa identitas anak sebagai pelaku, korban, serta saksi wajib dirahasiakan dalam berita media cetak dan elektronik," kata Refri Amran kepada RiauPos.co, Senin (29/6).

Dia menyebut, belakangan ini tersiar kabar di Duri, Kabupaten Bengkalis, bahwa ada seorang anak yang menjadi korban pelecehan oleh ayah tirinya. Pihaknya dalam hal ini turut mendampingi kasus tersebut sesuai tupoksinya di satgas perlindungan perempuan dan anak.

Namun yang disayangkannya, masih ada ditemukan pemberitaan yang melanggar ketentuan UU tentang perlindungan anak tersebut, seperti alamat korban yang sangat jelas, serta barang bukti berupa pakaian dalam yang tanpa sensor, serta hal lain yang berkaitan dengan identitas korban.

"Ini berdampak pada si korban, saat ini korban tersebut telah pindah rumah. Psikologisnya jelas menjadi terganggu," ungkapnya.

Dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak  pasal 19 juga, identitas anak pelaku, korban, dan saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan. Identitas adalah meliputi nama anak, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri.

"Kita wajib menaati aturan dalam memberitakan anak sebagai korban, maupun sebagai pelaku tindak pidana. Karena ini menyangkut masa depan anak tersebut," katanya

Refri menilai, ada beberapa media massa yang terlalu fulgar dalam hal pemberitaan, sehingga si korban tersebut mendapatkan dampak sosial.

"Anak itu masa depan panjang, gara-gara itu jadi ada stigma yang muncul. Kita juga telah lakukan pendampingan psikologis. Kalau bisa kedepan hal seperti ini lebih diperhatikan lagi," tuturnya. 

Laporan: Panji (Pekanbaru)

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook