PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Di balik sebuah Perda yang disahkan, ada banyak proses panjang yang harus diselesaikan. Mulai dari pembahasan, pengkajian dan hal-hal lainnya.
Di Pekanbaru sendiri, sosok Dian Sukheri menjadi orang di balik dapur penggodokan Perda tersebut. Ya, alumni satu ini adalah Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah di DPRD Kota Pekanbaru.
Sebagai Ketua BPPD atau dulunya disebut sebagai Ketua Badan Legislatif (Baleg), tugasnya ialah menginisiasi peraturan daerah dan memfasilitasi proses pembentukan Perda baik dari Pemko sendiri maupun berasal dari DPR.
“Intinya, jika ada inisiatif atau usulan mengenai Perda, baik dari DPRD maupun pemerintah, kita yang memfasilitasinya. Menyiapkan pansus dan lain sebagainya.
Dengan kata lain Badan Pembentukan Peraturan Daerah merupakan sebuah perangkat kelengkapan di DPRD yang menjadi tempat peracikan dari usulan Perda,” paparnya.
Meski tergolong baru menduduki posisi tersebut, Dian tak mau setengah-setengah. Berbagai usulan Perda dari Pemerintah di tahun ini berangsur dikerjakan.
“Target di tahun ini kita mengerjakan 26 Perda. Yang mana 24 berasal dari pemerintah dan dua dari DPRD,” lanjutnya yang pernah aktif di LSM yang membina pelajar se-Riau ini.
Adapun Perda inisiasi dari DPRD sendiri berkutat mengenai pendidikan dan perlindungan konsumen.
Dikatakan oleh Dian, masalah pendidikan memang menjadi poin penting yang harus diatur. Selama ini perda yang berlaku di Pekanbaru kebanyakan masih Perda perda lama di tahun 2000an.
“Banyak Perda yang perlu di update. Sehingga Perda tersebut bisa diterapkan dimasa sekarang ini, mengikuti perkembangan masyarakat. Salah satunya adalah perda mengenai pendidikan,” ujar pria yang merupakan aktifis semasa menjadi mahasiswa ini.
Saking konsennya terhadap masalah pendidikan yang dianggapnya urgen, ia berani untuk tidak mendukung program pemerintah, Multiyears Pemindahan Perkantoran Walikota.
Ia bersama anggota dewan lain kala itu mengacungkan tangan tanda mereka tidak setuju atas penganggaran dana untuk proyek tersebut.
“Urgensinya tidak langsung menyentuh masyarakat. Lebih baik dana untuk pembangunan tersebut digunakan untuk pendidikan, kanalisasi banjir dan hal lain yang berkaitan langsung dengan masyarakat,” lanjut mantan Ketua DPRD Kota Pekanbaru ini.
Namun sayang, hasil voting tak memihak kepadanya. Program tersebut tetap berlanjut meski sebenarnya ia tidak menyetujuinya. Dikatakannya, keberanian dan sikap kritisnya tersebut merupakan hasil bentukan selama ia menjadi aktifis di Unri.
Ia dulu pernah aktif menjadi Ketua Lembaga Dakwah Kampus dan menjadi Ketua KAMMI Riau. “Zaman mahasiswa, saya acap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah melalui aksi demo.
Kini, setelah menjadi anggota DPRD, saya menjadi pihak yang didemo oleh mahasiswa,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Namun karena idealisasinya sudah terbentuk semenjak mahasiswa, ia mengaku kini tak mengalami kesulitan untuk menghadapi demo mahasiswa maupun masyarakat.
“Karena di kampus sudah diajari berorganisasi dan berbaur, jadi disini saya tak mengalami kesulitan beradaptasi. Itulah keuntungannya memiliki pengalaman sebagai aktifis kampus,”ujarnya lagi.
Kedepan ia berharap mahasiswa maupun alumni Unri bisa menjadi sosok yang lebih dari pencapaiannya saat ini. Ia ingin mahasiswa memanfaatkan waktu mereka di kampus bukan hanya untuk kuliah pulang kuliah pulang saja (kupu-kupu).
Menurutnya, mahasiswa harus aktif dalam berbagai aksi dan menjadi pendorong suatu kebijakan.
“Kami berharap, Unri sebagai lembaga perguruan tinggi nantinya bisa turut memberi sumbangsih terhadap usulan perda. Karena jujur, kami juga butuh sesuatu yang baru, segar dan based on research.
Hal tersebut jelas hanya bisa datang dari Universitas, seperti Unri. Kedepan, kami ingin Unri dan DPRD lebih bersinergi lagi dalam memajukan daerah melalui ide- ide dan gagasan cemerlangnya,” tutup Dian.(a)