PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Tanah adat di Rokan Hilir (Rohil) dulunya seluas kabupaten tersebut. Seluruhnya dijaga oleh suku-suku tempatan.
Tak ada seorangpun yang boleh mengambil hasil hutan yang ditaman di tanah tersebut sebelum waktu yang ditentukan. Sehingga hutan benar-benar terjaga dan lestari.
Namun kini, tanah adat di Rohil hanya tersisa 0,01 persen dari luas wilayahnya. Kemajuan zaman dan pergeseran keyakinan karena berbagai alasan termasuk materi, membuat mereka rela menjual tanah adat. Padahal keberadaan tanah tersebut merupakan kearifan lokal yang bisa menjaga kelestarian alam.
Melihat hal tersebut, Husni Thamrin yang saat itu tengah menempuh pendidikan doktoral ilmu lingkungan di Unri tertarik menelitinya. Berbagai literatur ia kumpulkan mengenai tanah adat Rohil.
Jumlahnya sangat terbatas. Namun ada satu dari penulis Belanda yang membuat sepenggal cerita tentang tanah adat yang memberinya banyak gambaran tentang tanah adat Rohil terdahulu.
‘’Ini menarik untuk diteliti karena kita ingin mengetahui seberapa jauh masyarakat mempertahankan kearifan lokal mereka. Seberapa baik mereka menjaga tanah adat mereka. Ternyata, petatah petitih tetua terdahulu tak sepenuhnya di dengar lagi.
Terjadi pergeseran-pergeseran sehingga masyarakat kini lebih memilih menukar tanah adat dengan uang,’’ papar pria yang kini menjabat sebagai Sekretaris Program Pasca Sarjana UIN Suska ini.
Ide untuk membuat sebuah pendekatan atau konsep yang bisa menjaga keberlangsungan alam pun tercetus. Di tahun 2014, konsep ecoculcuture ia ciptakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan saat ini yang tengah diambang krisis.
Ia pun telah memetakan wilayah-wilayah tanah adat di Rohil saat ini. ‘’Ecoculture adalah suatu konsep ilmu lingkungan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan secara filosofi dan sosial.
Di dalamnya terkandung aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Sehingga permasalahan bisa diselesaikan tanpa merusak alam itu sendiri,’’ jelas penerima Anugrah Sagang ini.
Konsepnya tersebut telah diuji oleh beberapa profesor di tahun 2015 lalu dan dinyatakan layak menjadi solusi krisis lingkungan saat ini. Buku mengenai pendekatan ecoculture juga telah dibuat.
Kini ia tengah mengupayakan untuk mematenkan temuannya tersebut dan menafsirkan buku ecoculture ke dalam bahasa Indonesia.
Selain memberi kontribusi melalui konsep pendekatan yang ia buat, ternyata Husni Thamrin yang pernah mendapat penghargaan thesis terbaik di Unri ini juga memiliki kontribusi lain dalam bidang Peraturan Daerah (Perda).
Sejak beberapa waktu lalu, ia dipercaya menjadi staf ahli dalam menyusun Perda mengenai kebudayaan Melayu dalam konsep lingkungan.
‘’Untuk menjauhkan Riau dari krisis lingkungan, tentunya peran pemerintah sangat besar. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan peraturan yang sudah dirancang sedemikian rupa.
Sehingga tak ada yang berani merusak hutan, melakukan pembabatan bahkan menjual tanah adat. Pasalnya, jika hutan sudah habis, kemiskinan dan kelaparan tak akan bisa kita hindari.
Sebagai salah satu staf ahli penyusunan Perda Kebudayaan berkonsep lingkungan, kita terus menerus menyusun Perda yang menguntungkan bagi lingkungan dan masyarakat serta merugikan bagi perusak lingkungan,’’ imbuh penulis 20-an buku ini kepada Riau Pos.
Ia optimis, kondisi lingkungan dan tanah adat yang hanya tersisa sedikit ini bisa direvitalisasi. Asal ada kemauan kuat dari pemerintah, masyarakat dan berbagai pihak, hutan bisa kembali tumbuh. Merujuk kepada negara Eropa yang dulu hutannya gundul, namun kini berkat keseriusan pemerintah dan berbagai pihak wilayah hijau bisa dihidupkan kembali.(rnl)