JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melanggar janji yang dibuatnya terkait reformasi birokrasi.
Menurutnya, janji reformasi birokrasi yang didengungkan oleh Presiden Jokowi saat pidato inagurasinya, 20 Oktober 2019 lalu, kini seperti balon kempis.
"Janji itu telah dilanggar sendiri oleh presiden," tegas Fadli dalam siaran persnya, Rabu (27/11).
Menurut Fadli, pengangkatan 12 wakil menteri di kabinet baru, dari sebelumnya hanya tiga wamen, serta mengangkat 14 staf khusus presiden yang semula 12 orang, merupakan salah satu sebab Jokowi melanggar reformasi birokrasi yang dijanjikannya.
"Menurut saya, presiden telah gagal memberi contoh reformasi birokrasi dari lingkungan rumah tangganya sendiri," ungkap Fadli.
Sementara, kata Fadli, di lingkungan kabinet pengangkatan dua wamen di Kementerian BUMN, serta politikus partai sebagai komisaris utama perusahaan pelat merah, seakan hendak menggenapkan bukti gagalnya teladan reformasi birokrasi oleh presiden dan para menterinya sendiri.
Fadli menegaskan dengan janji reformasi birokrasi, maka di periode kedua ini Presiden Jokowi berusaha semestinya membangun pemerintahan yang lebih ramping.
Apalagi pemerintah berencana memangkas jumlah eselon, dari semula lima menjadi hanya tinggal dua.
Ini sebuah agenda yang awalnya, kata Fadli, terdengar cukup menjanjikan. Namun, ujar Fadli, dengan adanya pembengkakan personalia di lingkungan Istana dan kementerian, agenda itu kini akan ditanggapi dingin bahkan sinis oleh sebagian besar birokrat.
"Bagaimana kita bisa mempercayai pemerintahan ini berkomitmen melakukan reformasi birokrasi, jika agenda pertama yang mereka kerjakan justru menggelembungkan birokrasi di lingkungannya sendiri?" tutur Fadli.
Menurutnya, kian gemuknya personalia di lingkungan kepresidenan memang kontradiktif dengan pernyataan-pernyataan pemerintah sendiri.
Dia mencontohkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam berbagai kesempatan terus menyoroti inefisiensi belanja daerah.
Misalnya, sekitar 36 persen APBD habis dipakai untuk gaji pegawai dan belanja operasional daerah. "Kritik itu saya kira kini harus diarahkan ke Istana," ujarnya.
Menurutnya, pengangkatan staf khusus hingga belasan orang jelas tidak menggambarkan adanya komitmen efisiensi dari presiden sendiri. "Apalagi publik tidak melihat urgensi pengangkatan staf sebanyak itu," katanya.
Fadli Zon menilai presiden harus diberi masukan yang benar terkait pengangkatan staf khusus dari kalangan milenial.
Menurutnya, kalau presiden benar-benar berkomitmen pada kemajuan anak muda, seharusnya hanya perlu membuat iklim agar anak-anak muda bisa berkembang dalam berbagai bidang yang mereka tekuni.
"Menarik mereka ke lingkungan birokrasi pemerintahan justru kontraproduktif," ungkap wakil ketua umum Partai Gerindra itu.
Selain itu, lanjut Fadli, cara ini juga bertentangan dengan tren anak muda masa kini yang terbiasa bekerja secara smart dan efisien.
Masukan-masukan dari kalangan muda sebenarnya bisa diperoleh presiden melalui berbagai cara dan forum, tidak harus diformalkan melalui kelembagaan staf khusus yang tidak jelas tugas, pokok, dan fungsinya.
Dia menilai kesannya ingin terlihat cerdas, tetapi cara semacam ini sangat kurang cerdas apalagi jika dilihat dari sisi anggaran. "Cerdas dari mana, jika negara harus membayar full time para staf khusus presiden yang kerjanya hanya bersifat part time?" kata Fadli.
Berdasar Perpres Nomor 144 Tahun 2015, yang kemudian direvisi menjadi Perpres Nomor 39 Tahum 2018 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden, besaran gaji staf khusus Presiden berkisar Rp 51 juta.
Selain angka ini cukup besar, staf khusus juga diperbolehkan memiliki paling banyak lima asisten untuk mendukung kelancaran tugasnya.
Asisten yang dimaksud terdiri dari paling banyak dua pembantu asisten. "Jadi, bisa dibayangkan bagaimana pemborosan personalianya. Padahal, di sisi lain Presiden sudah didukung oleh Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan juga Kantor Staf Kepresidenan (KSP)," katanya.
Nah, kata dia, hal inilah yang telah membuat rencana pemangkasan jumlah pejabat eselon jadi terdengar ironis. Di bawah mau dipangkas habis, tetapi di atas justru mengalami penggemukan.
"Ini bisa jadi demoralisasi bagi agenda reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah," paparnya.
Jadi, Fadli menegaskan bahwa jangan salahkan publik jika mereka akhirnya menilai kalau rencana pemangkasan birokasi di bawah ini hanya dilakukan untuk menambal pemborosan yang terjadi di lingkaran elite pemerintahan. (boy/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal