PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Ketua DPRD Riau Septina Primawati menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap peluncuran buku Demokrasi Wani Piro. Dimana, buku yang banyak mengungkap realitas demokrasi di Indonesia itu merupakan buah karya Anggota DPRD Riau Bagus Santoso. Ia juga mengakui, bahwa iklim demokrasi di Indonesia belum sempurna. Karena masih diukur dalam bentuk materi.
Hal itu ia sampaikan saat membuka kegiatan bedah buku Demokrasi Wani Piro di Pustaka DPRD Riau baru-baru ini. Selain Septina, kegiatan itu juga dihadiri Anggota DPRD Riau lainnya. Yakni Karmila Sari dan Mansyur HS dari Komisi II DPRD Riau. Hadir juga Pengamat Politik Saiman Pakpahan dan Pemimpin Redaksi Riau Pos M Hapiz sebagai nara sumber bedah buku.
"Sangat salut saya dengan rekan saya Mas Bagus. Ditengah kesibukannya sebagai Anggota DPRD, masih sempat menulis buku. Ini yang selalu ingin saya contoh dan sampai sekarang belum bisa. Memang menulis itu ternyata tidak gampang," ungkapnya.
Sementara itu, sang penulis Bagus Santoso menyebut buku Demokrasi Wani Piro sendiri merupakan buku ketiga dari dua buku yang sebelumnya telah ia rilis. Yakni menantang elite parpol dan merakyat tak dibuat-buat. Demokrasi Wani Piro sendiri dijelaskan dia merupakan realitas empirik yang telah ia alami berdasarkan hasil turun langsung selama menjadi politisi.
"Apalagi dikaitkan dengan pesta demokrasi. Disitu ada makna yang lugas. Buku ini mengungkap apa yang terjadi secara empiris. Mengungkap keresahan yang terjadi. Kemudian juga melibatkan semua unsur termasuk pemerintah juga masyarakat. Yangg paling penting juga adalah media masa," sebut Bagus
Ia menceritakan bagaimana problem demokrasi yang berorientasi kepada uang masih terasa sangat kental di ceruk-ceruk kampung. Bahkan dirinya pernah ditagih langsung ketika hendak turun ke masyarakat."istilahnya NPWP. Nomor piro wani piro. Sistem ini berlangsung. Masyarakat saban hari dicekoki hal-hal seperti ini. Apa karena salah caleg, ternyata tidak. Semua ikut bertanggung jawab atas masalah ini," ungkapnya.
Ia juga menggambarkan bagaimana paradigma masyarakat tentang pemilihan caleg. Dimana masyarakat berpikiran setelah duduk, caleg pastinya akan meninggalkan dan tak akan lagi mengurus masyarakat. Karena pikiran itu timbul keinginan untuk "meminta" di depan. Baru di coblos. Belum lagi pemikiran terima uangnya, coblos yanh lain. Harusnya pemikiran serupa itu tidak boleh ada sama sekali.(adv)