RIAUPOS.CO - Karya sastra tetaplah sebuah karya. Lahir dari tangan-tangan dingin penyintanya. Tak mengenal kasta dan dasar sumur mana ia bermula. Tapi, hendak sampai kemana karya itu memberikan warna, jika hadirnya tanpa kritik yang seharusnya.
Hujan yang mengguyur hampir sebagian besar Kota Pekanbaru tadi malam, tidak menghentikan langkah para sastrawan Riau ke laman bermain mereka: Madah Poedjangga. Laman ini dibuka setiap Sabtu malam agar para sastrawan bisa berekspresi, mengapresiasi, berdiskusi serta mengkritisi dan menggelar karya sastra dalam berbagai rupa. Tersebab hujan, acara yang bisa digelar di halaman depan gedung Graha Pena atau di taman itu, dialihkan ke lantai I Graha Pena. Beda nuansa, semangat tetap sama.
Lain pekan, selalu lain tema. Begitulah Yayasan Sagang dan Riau Televisi (Rtv) mengemas acara ini. Tadi malam, peran kampus dalam melahirkan sastrawan menjadi tema pilihan. Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak) pun menjadi pengisi utama acara tersebut. Pengantar diskusi oleh sastrawan Riau, Marhalim Zaini dan Harry B Korium menggugah semangat hadirin untuk berdiskusi.
Hal yang menarik dan hangat dibicarakan adalah tentang dari mana sebetulnya sastrawan itu lahir? Apakah dari kampus tempat mereka menimba ilmu, dari pengalaman pribadi atau memang dari bakat masing-masing pribadi. Marhalim menyebutkan, kampus
berperan penting menumbuhkan para sastrawan. Tidak hanya pembaca karya sastra, tapi juga pengarang dan juga kritikusnya.
Diakui Marhalim dan juga Harry B Koriun, selama ini, kampus berperan mendukung munculnya para pembaca dan juga pengarang sastra, tapi belum untuk kritikus. Kritikus sangat minim. Bahkan tidak ada. Bukan hanya persoalan hari ini, tapi sejak 1960-an, bahkan jauh sebelumnya, Riau tidak memiliki kritikus sastra. ‘’Karya-karya sastra selalu bermunculan. Sastrawan juga terus lahir. Banyak. Tapi, persoalannya, Riau tidak memiliki kritikus. Beberapa di antara kita sudah mulai menulis kritikus seperti Riki Utomi, Alvi Puspita dan beberapa lainnya. Tapi belum cukup. Beda dengan Maman S Mahayana, kritikus besar yang tinggal di Jakarta. Kampus berperan mendukung lahirnya kritikus. Jadilah kritikus. Fokus,’’ jelas Marhalim.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Sagang, Rida K Liamsi yang duduk di meja paling depan podium bersama penyair dan Ketua PWI Riau, Dheni Kurnia dan Gafar Usman, kerap kali menganggukkan kepala. Perbincangan antara kedua pembicara tersebut menarik perhatian hadirin yang datang. Terlebih saat disinggung bahwa sastrawan juga lahir sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Penyair Aris Abeba yang duduk tenanga langsung berdiri ketika Murparsaulian selaku moderator memintanya untuk berkomentar. ‘’Tidak benar sastrawan itu lahir karena jurusan yang sesuai. Saya orang IAIN. Banyak sastrawan dan seniman yang lahir dan muncul bukan pada latar belakang pendidikannya. Sekarang tinggal kita tanya, kemana bakat yang dia punya,’’ tegas Aris.
Ketua Yayasan Sagang yang juga penyair Riau, Kazzaini Ks juga turut berbicara. Soal minimnya kritikus sastra bukan hanya terjadi di Riau, tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. ‘’Bahkan bukan hanya kritikus sastra saja yang minim, kritikus seni, semua bidang seni, memang minim. Tidak hanya di Riau, tapi juga di luar Riau,’’ katanya pula.
Selain H Dheni Kurnia, Gafar Usman dan Aris Abeba, laman Madah Poedjangga malam itu juga diramaikan oleh penyair lain. Di antaranya, Fakhrunnas MA Jabbar, Hang Kafrawi, Herman Rante, Kunni Masrohanti, Qori Islami, Herlela Ningsih, DM Ningsih, Alvi Puspita, May Moon Nasution dan penyair Kepulauan Riau Samson Rambah Pasir yang turut membacakan puisi-puisinya. Selain itu, berbagai komunitas sastra juga turut hadir seperti Paragraf, Rumah Sunting, Bahtera Kata dan beberapa lainnya.***
Laporan : KUNNI MASROHANTI